Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi
kepala ini. Duh… betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini
makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis
bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan.
“Ummi… Ummi,
kapan kau dapat memasak dengan benar…? Selalu saja, kalau tak
keasinan…kemanisan, kalau tak keaseman… ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan
emosi untuk tak menggerutu.”Sabar bi…, Rasulullah juga sabar terhadap masakan
Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul…? ” ucap isteriku kalem. “Iya… tapi
abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau
makan terus menerus seperti ini…!” Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar
ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam.
Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang
benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan ‘baiti jannati’ di
rumahku. Namun apa yang terjadi…? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang
kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan
saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih
yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora
di dapur, dan cucian… ouw… berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang
menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci.
Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.
“Ummi…ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini…?”
ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Ummi… isteri sholihat itu
tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur
tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju,
beresin rumah…?” Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis
isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali untuk menangis…,”
batinku berkata dalam hati. “Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi
isteri shalihat…? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah
melihat air matanya menganak sungai dipipinya. “Gimana nggak nangis! Baru juga
pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak
bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan
muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap isteriku
diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang
hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku. “Aduh, Mi… abi
kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku. “Ya sudah, kalau
abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab
isteriku. “Lho, kok bilang gitu…?” selaku. “Iya, dalam kondisi muntah-muntah
seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi
ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi
mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi. “Ya sudah, kalau
begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan.
Pertemuan hari ini ternyata
diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput
isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku
sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak
sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang
berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan
kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai
bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk
pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati
ini menjadi luruh.
“Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya
hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu.
Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru
sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana
ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.
“Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku. “Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku
terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan
melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah
warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu,
kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku.
Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum
juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan
berjilbab hitam melintas.
“Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda
dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga
cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya.
Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang
memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah
membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan
kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak
kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan
Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak
pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah
yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa
bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang
aku…? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat
melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam…!”
panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke
arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di
tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum.
Senyum bahagia. “Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat
isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?”
sesal hatiku.
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika
tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah,
jazakallahu…,”ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh
melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa
bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang
pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena
perhatianku…? Semoga berguna bagi kita semua….amin ya rabbal
alamien……
Buat para mujahid dakwah..renungkanlah kisah sandal jepit
ini,dan tanyalah hati kita sejauh mana perhatian kita (bukan hanya soal sandal
dll) terhadap sosok makhluk bernama istri di tengah2 kesibukan kita…
sumber : http://zilzaal.blogspot.com/2012/07/kisah-nyata-sandal-jepit-istriku.html
#Cut siti nisrina
0 komentar: