Sejarah Kota Lhokseumawe
Sejarah Kota Lhokseumawe
Asal kata Lhokseumawe adalah “ Lhok” dan “Seumawe”. Lhok artinya dalam, teluk, palung laut dan Seumawe artinya air yang berputar-putar atau pusat dan mata air pada laut sepanjang lepas pantai Banda Sakti dan sekitarnya. Keterangan lain juga menyebutkan nama Lhokseumawe berasal dari nama Teungku yaitu Teungku Lhokseumawe, yang dimakamkan dikampung Uteun Bayi, merupakan kampung tertua di Kecamatan Banda Sakti.Sebelum abad ke XX negeri ini telah diperintah oleh Uleebalang Kutablang. Tahun 1903 setelah perlawanan pejuang Aceh terhadap Belanda melemah, Aceh mulai dikuasai, Lhokseumawe menjadi daerah takluknya dan mulai saat itu status Lhokseumawe menjadi Bestuur van Lhokseumawe dengan Zelf Bestuurder adalah Teuku Abdul Lhokseumawe tunduk dibawah Aspiran Controeleur dan di Lhokseumawe berkedudukan juga Controleur atau Wedana serta Asisten Residen atau Bupati.
Pada dasawarsa kedua abad ke XX itu, diantara seluruh daratan aceh,salah satu pulau kecil luas sekitar 11 km2 yang dipisahkan sungai Krueng Cunda diisi bangunan-bangunan Pemerintah Umum, Militer dan Penghubungan Kereta Api oleh Pemerintah Belanda Pulau Kecil dengan desa-desa kampung Keude Aceh, Kampung Jawa, Kampung Kutablang, Kampung Mon Geudong, Kampung Teumpok Teungoh, Kampung Hagu, Kampung Uteun Bayi dan Kampung Ujong Blang dan keseluruhan baru berpenduduk 5.500 jiwa, secara jamak disebut Lhokseumawe. Bangunan demi bangunan mengisi daratan ini sampai terwujud embrio kota yang memiliki pelabuhan, pasar, stasiun kereta api dan kantor-kantor lembaga Pemerintahan.
Masa penduduk Jepang, Zelf Bestuurder Lhokseumawe tidak lagi dipegang Maharaja, tetapi mulai tahun 1942 s/d 1946 dipegang putranya Teuku Baharuddin.
Sejak Proklamasi kemerdekaan, Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk sistematik sampai kecamatan ini. Pada mulanya Lhokseumawe digabung dengan Bestuurder van Cunda. Penduduk didaratan ini semakin ramai berdatangan dari daerah sekitarnya seperti Buloh Blang Ara, Matangkuli, Lhoksukon, Blang Jruen, Nisam dan Cunda serta Pidie.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah, berpeluang peningkatan status Lhokseumawe menjadi Kota Administrasif. Dengan Nota Dinas Bupati Kepala Daerah Tk. II Aceh Utara Nomor 125/50/80 Tanggal 12 Mei 1980, Drs. Mahyiddin AR ditunjuk sebagai Ketua Tim Perencana Kota Lhokseumawe menjadi Kota Administratif dibawah arahan Bupati Aceh Utara Kolonel H. Ali Basyah.
Pada Tanggal 14 Agustus 1986 Pembentukan Kota Administratif (Kotif) Lhokseumawe ditandatangani oleh Presiden Soeharto, yang diresmikan oleh Menteri Dalam negeri Soeparjo Roestam pada tanggal 31 Agustus 1987 dengan Walikotif perdananya Bapak Drs. H. Mahyiddin AR yang dilantik oleh Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Prof. DR Ibrahim Hasan, MBA.
Dengan peresmian dan pelantikan Walikotif, secara derujee dan defacto Lhokseumawe telah menjadi Kota Administratif dengan luas wilayah 253.87 km2 yang meliputi 101 desa dan 6 kelurahan yang tersebar di 5 (lima) kecamatan, yaitu:
- Kecamatan Banda sakti
- Kecamatan Muara Dua
- Kecamatan Dewantara
- Kecamatan Muara Batu
- Kecamatan Blang Mangat
Sejak tanggal 1988 Bupati Aceh Utara H. Karimuddin Hasybullah SE menggagas peningkatan status Kotip Lhokseumawe untuk menjadi Kotamadya, kemudian, pada tahun 2000 Bupati Aceh Utara, Tarmizi A. Karim, merekomendasi peningkatan status itu bersama pimpinan DPRD Aceh Utara yang diketuai H. Saifuddin Ilyas. Atas dukungan Gubernur Aceh mulai Prof. DR. Syamsudin Mahmud, Penjabat Gubernur H. Ramli Ridwan, SH, dan Gubernur Ir. H. Abdullah Puteh,MSi, serta penyampaian visi misi kota ke Dep. Dalam Negeri, dan DPR-RI oleh Walikotif Drs. H. Rachmatsyah, kemudian lahir UU No 2 Tahun 2001, tentang pembentukan Kota Lhokseumawe tanggal 21 Juni 2001, yang ditandatangani Presiden RI H. Abdurrahman Wahid, yang wilayahnya mencakup 3 (tiga) Kecamatan, yaitu :
- Kecamatan Banda Sakti
- Kecamatan Muara Dua
- Kecamatan Blang Mangat
#Muhammad Akbar
0 komentar: